Ketergantungan ini telah menciptakan lahan subur bagi penjahat mayantara dan aktor negara yang bermusuhan untuk mengeksploitasi kerentanan.

Jakarta (ANTARA) - Dunia digital berkembang pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, membawa serta peluang dan kerentanan. Pemerintah, bisnis, dan institusi semakin bergantung hiper-konektifitas untuk mengelola data sensitif, infrastruktur penting, dan sistem pertahanan.

Namun, ketergantungan ini telah menciptakan lahan subur bagi penjahat mayantara dan aktor negara yang bermusuhan untuk mengeksploitasi kerentanan.

Statistik terbaru mengungkapkan peningkatan serangan siber yang mengkhawatirkan. Menurut laporan tahun 2023 oleh Cybersecurity Ventures, biaya kejahatan mayantara global diperkirakan akan mencapai 10,5 triliun dolar AS (Rp158 kuadriliun) per tahun pada tahun 2025, naik dari 3 triliun dolar AS pada tahun 2015.

Namun, terlepas dari peringatan ini, kelalaian keamanan siber tetap merajalela. Organisasi sering gagal memperbarui perangkat lunak, menerapkan langkah-langkah keamanan dasar, atau melatih karyawan untuk mengenali penipuan phishing, membiarkan pintu terbuka lebar bagi penyerang.

Kelalaian keamanan siber dapat terjadi dalam berbagai bentuk, di antaranya sistem yang ketinggalan zaman. Sistem lama yang tidak lagi didukung oleh pembaruan atau tambalan adalah target utama peretas.

Kata sandi lemah. Meskipun peringatan berulang kali, banyak organisasi masih mengandalkan kata sandi yang lemah atau default, sehingga memudahkan penyerang untuk mendapatkan akses yang tidak sah.

Kurangnya pelatihan karyawan. Kesalahan manusia tetap menjadi salah satu penyebab utama pelanggaran data. Karyawan yang tidak dilatih untuk mengenali email phishing atau mengikuti protokol keamanan secara tidak sengaja menjadi pendukung serangan siber.

Kurangnya pemahaman tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan (GRC). Hal ini dapat berdampak serius, terutama dalam proses pengadaan barang, perangkat, dan teknologi.

Untuk mencegah risiko ini, penting bagi organisasi untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat memiliki pengetahuan yang memadai tentang GRC, serta menerapkan prosedur dan kebijakan yang jelas guna meminimalkan potensi ancaman keamanan.

Kegagalan untuk memantau dan merespons. Banyak organisasi tidak memiliki sumber daya atau keahlian untuk memantau jaringan mereka untuk aktivitas yang mencurigakan, sehingga pelanggaran tidak terdeteksi selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

Pemantauan dan pengawasan yang tampaknya kecil ini dapat menyebabkan konsekuensi yang menghancurkan. Satu kata sandi yang disusupi atau kerentanan yang tidak ditambal (patch) dapat memberi penyerang pintu belakang ke sistem penting, yang berpotensi mengganggu seluruh jaringan atau membocorkan data keamanan nasional yang sensitif.

Baca juga: Presiden Meksiko Sheinbaum jadi korban peretasan ponsel, surel

Implikasi

Kelalaian keamanan siber tidak lagi hanya masalah organisasi, namun menjadi masalah keamanan nasional dan kedaulatan negara. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan beberapa skenario terburuk.

Pertama, infrastruktur kritis yang berisiko. Jaringan listrik, sistem pasokan air, dan jaringan transportasi semakin digital. Serangan siber pada sistem ini dapat melumpuhkan kemampuan suatu negara untuk berfungsi, mengakibatkan kekacauan dan kelumpuhan ekonomi.

Kedua, sistem pertahanan dikompromikan. Operasi militer dan intelijen sangat bergantung pada jaringan komunikasi yang aman. Pelanggaran dalam sistem ini dapat mengekspos informasi rahasia atau bahkan memungkinkan musuh untuk memanipulasi operasi pertahanan.

Ketiga, kejatuhan ekonomi. Serangan siber yang menargetkan lembaga keuangan atau sistem perdagangan dapat mengganggu stabilitas ekonomi, mengikis kepercayaan investor, dan mengganggu pasar global.

Serangan ransomware Colonial Pipeline 2021 adalah pengingat nyata tentang betapa rentannya infrastruktur penting terhadap ancaman di mayantara. Serangan itu, yang mengganggu pasokan bahan bakar di seluruh Pantai Timur Amerika Serikat, bukan hasil dari operasi canggih yang disponsori negara, melainkan kasus hygiene di mayantara yang buruk.

Satu kata sandi yang disusupi memungkinkan peretas untuk menyusup ke sistem, menyebabkan kepanikan yang meluas dan kerugian finansial.

Baca juga: Waspada phishing! Kenali modusnya dan hindari pencurian data

Pelajaran dari pelanggaran

Beberapa insiden yang bersifat High Profile menyoroti konsekuensi yang menghancurkan dari kelalaian keamanan dan ketahanan siber.

SolarWinds Hack (2020): Pembaruan perangkat lunak dari perusahaan manajemen TI SolarWinds disusupi, memungkinkan penyerang untuk menyusup ke lembaga pemerintah AS dan perusahaan swasta. Pelanggaran, yang dikaitkan dengan peretas Rusia, mengeksploitasi praktik keamanan yang lemah dalam rantai pasokan.

Pelanggaran Data Equifax (2017): Salah satu pelanggaran terbesar dalam sejarah, insiden ini mengekspos data pribadi 147 juta orang. Akar penyebabnya? Kegagalan untuk menambal kerentanan yang diketahui tepat waktu.

Serangan Pipa Kolonial (2021): Seperti disebutkan sebelumnya, serangan ransomware ini mengganggu pasokan bahan bakar di seluruh Pantai Timur AS, menyoroti kerapuhan infrastruktur penting ketika langkah-langkah keamanan siber dasar diabaikan.

Bank Syariah Indonesia (2023): Kasus peretasan Bank Syariah Indonesia menjadi kasus high profile dalam keamanan siber karena bank ini adalah salah satu institusi keuangan terbesar di Indonesia yang memiliki peran signifikan dalam perekonomian nasional. Serangan terhadap institusi seperti ini tidak hanya berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan, tetapi juga dapat mengganggu stabilitas ekonomi nasional.

Peretasan Pusat Data Nasional Indonesia – PDN(s) (2024): Insiden ini menjadi perhatian besar dalam keamanan dan ketahanan siber global karena melibatkan infrastruktur kritis yang menyimpan data penting negara. Dampak insiden peretasan ini dapat membahayakan kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data yang dikelola oleh pemerintah, yang pada gilirannya dapat mengancam stabilitas nasional.

Insiden-insiden ini berfungsi sebagai wake-up call! Kelalaian keamanan siber bukan hanya tentang organisasi individu, tetapi memiliki efek berantai dan berjenjang yang dapat berdampak pada seluruh negara.

Memerangi kelalaian siber

Untuk mengatasi ancaman yang semakin berkembang pesat ini, pendekatan-pendekatan yang bersifat multi-pronged sangat penting. Berikut adalah beberapa rekomendasi utama:

Peraturan yang lebih ketat dan tegas. Pemerintah harus menegakkan standar keamanan siber yang lebih ketat untuk sektor publik dan swasta. Organisasi harus dimintai pertanggungjawaban karena gagal menerapkan langkah-langkah keamanan dasar.

Audit dan pembaharuan rutin. Audit keamanan rutin dan pembaharuan perangkat lunak sangat penting untuk menutup kerentanan sebelum dapat dieksploitasi.

Pelatihan karyawan. Organisasi harus berinvestasi dalam program pelatihan reguler untuk mendidik karyawan tentang ancaman mayantara dan praktik terbaik.

Kolaborasi publik-swasta. Pemerintah dan perusahaan swasta harus bekerja sama untuk berbagi intelijen ancaman dan mengembangkan mekanisme pertahanan yang kuat.

Rencana respons insiden. Memiliki rencana respons insiden yang terdefinisi dengan baik dapat meminimalkan kerusakan dan waktu pemulihan jika terjadi pelanggaran.

Saatnya untuk bertindak adalah sekarang. Kelalaian keamanan siber tidak lagi menjadi masalah yang dapat diabaikan atau ditangguhkan.

Dengan taruhannya yang semakin besar dari sebelumnya, organisasi, pemerintah, dan individu harus menyadari bahwa keamanan dan ketahanan siber bukan hanya tantangan teknis, tetapi juga pilar mendasar keamanan nasional.

Dengan mengatasi kelalaian dan mengadopsi langkah-langkah proaktif, kita dapat memperkuat pertahanan digital kita dan memastikan masa depan yang lebih aman dan terjamin.

Kegagalan untuk melakukannya akan membuat kita rentan terhadap ancaman yang dapat mengganggu kehidupan kita, ekonomi kita, dan bangsa kita. Keamanan siber bukan hanya tanggung jawab bersama; tapi juga adalah kebutuhan.

Baca juga: RI dan Belanda perkuat pencegahan terorisme di ruang siber

*) Ardi Sutedja K., adalah pemerhati dan konsultan keamanan dan ketahanan siber, ketua dan salah satu pendiri perkumpulan profesi terdaftar, Indonesia Cyber Security Forum (ICSF).

Copyright © ANTARA 2025