Jakarta (ANTARA) - Pasar saham Indonesia mengawali pekan ini dengan tekanan signifikan. Pada penutupan perdagangan Senin, 24 Maret 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 1,55 persen atau turun 97 poin ke level 6.161,22.
Beberapa jam sebelumnya, IHSG sempat anjlok hingga lebih dari 4,6 persen ke titik 5.967, level terendah sejak pertengahan 2020, sebelum akhirnya rebound dan memangkas sebagian besar kerugiannya.
Koreksi ini cukup mengejutkan sebagian pelaku pasar, khususnya investor ritel. Namun Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pelemahan IHSG lebih mencerminkan dinamika pasar yang tengah dipengaruhi tekanan eksternal.
Ia menegaskan bahwa fundamental ekonomi nasional tetap solid, dan apa yang terjadi lebih disebabkan oleh respons terhadap gejolak global yang semakin dinamis.
Selama tiga bulan terakhir, arus keluar modal asing dari pasar keuangan Indonesia memang sedang menunjukkan tren yang signifikan.
Berdasarkan data Bank Indonesia, sepanjang kuartal IV 2024 hingga akhir Desember, investor asing mencatatkan net outflow senilai lebih dari 2,4 miliar dolar AS, dengan sekitar 1,9 miliar dolar AS berasal dari pasar saham.
Sementara pada pekan kedua Maret 2025 saja, arus keluar asing tercatat mencapai Rp10,15 triliun, terdiri dari jual neto di pasar saham sebesar Rp5,25 triliun dan di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp2,97 triliun.
Ini sebenarnya juga sejalan dengan pola rotasi portofolio global yang dilakukan oleh investor besar dari Eropa dan Amerika Serikat, yang menarik dananya dari emerging markets untuk mengamankan keuntungan setelah periode akumulasi pasca-pandemi.
Pelemahan IHSG juga tidak terjadi secara terisolasi. Bursa-bursa di kawasan Asia Tenggara pun mengalami tekanan serupa, menyusul menguatnya kekhawatiran pasar terhadap arah kebijakan suku bunga The Fed serta eskalasi ketegangan geopolitik global.
Bahkan saham-saham dengan fundamental kuat seperti PWON, LSIP, MTDL, dan KKGI ikut terkoreksi, menandakan bahwa tekanan ini bersifat sistemik, bukan berbasis seleksi fundamental.
Kepengurusan Danantara
Di tengah tekanan eksternal yang kuat, pelaku pasar di dalam negeri mencermati momentum penting dari sisi kebijakan, diumumkannya struktur kepengurusan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.
Komposisi kepengurusan Danantara dinilai akan mencerminkan keseriusan pemerintah dalam membangun institusi sovereign wealth fund yang tangguh dan dihormati secara global.
Ekspektasi terhadap Danantara memang cukup besar. Sebagai lembaga pengelola dana investasi jangka panjang,
Danantara diharapkan mampu mendorong arus masuk modal asing ke sektor-sektor strategis seperti infrastruktur, energi baru dan terbarukan, manufaktur hijau, serta teknologi digital.
Pasar menunggu komitmen nyata dari Danantara, karena struktur kelembagaan yang solid saja belum cukup untuk menahan gejolak jangka pendek, namun bisa menjadi fondasi penting bagi pemulihan pasar dalam jangka menengah hingga panjang.
Kepala Badan Pelaksana (CEO) BPI Danantara Rosan Perkasa Roeslani menilai anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) saat peluncuran Danantara bukan karena pasar merespons negatif Danantara.
Rosan menjelaskan saat itu IHSG di beberapa negara ASEAN, terutama yang emerging market, juga melemah.
Sementara Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto justru menilai, pengumuman struktur pengurus BPI Danantara tidak secara langsung memberikan sentimen kepada IHSG.
Rully menjelaskan bahwa pelemahan indeks saham Tanah Air hari ini lebih dipengaruhi pesimisme pasar terhadap pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Hari ini lebih banyak saham-saham yang cenderung spekulatif yang menyebabkan pelemahan indeks. Sementara saham-saham yang terkait Danantara hari ini mengalami penguatan, seperti BMRI dan BBRI.
Secara umum memang tekanan pasar masih akan berlanjut dalam beberapa waktu ke depan. Tetapi investor dengan horizon jangka panjang justru melihat momen seperti ini sebagai peluang akumulasi.
Prinsip diversifikasi dan disiplin investasi tetap menjadi strategi utama. Saham-saham berfundamental kuat, terutama di sektor perbankan nasional, masih menunjukkan daya tahan tinggi.
Bank-bank besar seperti BCA, BRI, dan Mandiri tercatat memiliki permodalan kuat, kualitas aset yang terjaga, dan pertumbuhan kredit yang masih positif, menjadikannya pilar penting dalam stabilitas sistem keuangan nasional.
Sejarah menunjukkan bahwa setiap fase koreksi selalu membuka jalan bagi pemulihan yang lebih kuat. Pasar akan menemukan keseimbangannya kembali.
Ketika sentimen kembali pulih dan dana global mulai kembali masuk, mereka yang mampu bertahan dan bersikap rasional akan menjadi pihak yang paling diuntungkan.
Dalam konteks ini, langkah pemerintah membentuk Danantara dianggap sebagai upaya strategis untuk memastikan bahwa ketika pemulihan datang, Indonesia sudah memiliki kendaraan institusional yang siap menampung dan mengarahkan investasi jangka panjang secara produktif.
Di sisi lain Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menekankan pentingnya bagi pemerintah untuk meningkatkan pendapatan dari hasil penjualan barang ke luar negeri khususnya dari sektor perkebunan, kehutanan, perikanan, kelautan, mineral, batubara, dan minyak bumi.
Selanjutnya, pemerintah juga harus meningkatkan keuntungan hasil transaksi jasa di sektor pariwisata, serta pungutan tenaga kerja Indonesia di luar negeri dengan gaji tinggi (white collar).
Maka dengan sinergi antara stabilitas makroekonomi, kebijakan fiskal yang hati-hati, dan pembentukan institusi yang kredibel, pasar modal Indonesia akan memiliki peluang untuk bangkit lebih cepat dan tumbuh secara berkelanjutan.
Copyright © ANTARA 2025