Surplus neraca perdagangan yang berkelanjutan memang menjadi pencapaian positif, tetapi tidak boleh membuat bangsa ini terlena.

Jakarta (ANTARA) - Surplus neraca perdagangan Indonesia kembali berlanjut pada Februari 2025 dengan mencatatkan angka sebesar 3,12 miliar dolar AS.

Meski lebih rendah dibanding Januari yang mencapai 3,49 miliar dolar AS, capaian ini memperpanjang tren surplus selama 58 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.

Namun, di balik angka-angka yang tampak menggembirakan ini, sebenarnya apa ini artinya? Jika ditilik lebih dalam, sebenarnya ada dinamika kompleks yang perlu dicermati dengan jeli.

Lonjakan ekspor minyak kelapa sawit yang hampir 90 persen, meningkat menjadi 2,27 miliar dolar AS, menjadi penyokong utama surplus kali ini.

Logam mulia, perhiasan, serta logam nikel juga turut berkontribusi, sementara ekspor batu bara mengalami penurunan signifikan hampir 20 persen akibat fluktuasi harga dan volume perdagangan global.

Di sisi lain, impor mengalami kenaikan sebesar 2,30 persen, mencapai 18,86 miliar dolar AS, terutama dipicu oleh meningkatnya permintaan terhadap kendaraan dan suku cadangnya.

Fenomena ini menggambarkan bahwa meskipun ekspor terus tumbuh, kebutuhan dalam negeri terhadap barang modal dan konsumsi juga meningkat, menandakan dinamika ekonomi yang terus berkembang.

Namun, ada satu aspek yang perlu mendapat perhatian lebih serius yakni defisit transaksi berjalan yang melebar menjadi 8,9 miliar dolar AS atau 0,6 persen dari PDB pada 2024, meningkat dari 2 miliar dolar AS atau 0,1 persen dari PDB pada 2023.

Angka ini menunjukkan bahwa meskipun surplus perdagangan masih terjadi, ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran semakin membesar.

Defisit transaksi berjalan yang melebar bisa menjadi sinyal bahwa devisa yang masuk dari ekspor tidak cukup menutupi aliran modal ke luar, baik untuk impor maupun pembayaran utang luar negeri.

Baca juga: BPS catat surplus neraca perdagangan capai 3,12 miliar dolar AS

Baca juga: RI surplus neraca perdagangan 58 kali berturut-turut

Regulasi Eksportir

Salah satu langkah strategis yang diambil pemerintah untuk mengatasi tantangan ini adalah regulasi yang mewajibkan eksportir sumber daya alam, kecuali minyak dan gas, untuk menahan seluruh hasil ekspor mereka di dalam negeri selama minimal satu tahun.

Kebijakan yang mulai berlaku sejak 1 Maret 2025 ini diharapkan dapat menambah cadangan devisa hingga 80 miliar dolar AS.

Dari sisi ketahanan ekonomi, langkah ini terlihat logis dan memiliki potensi besar dalam menjaga stabilitas rupiah serta memperkuat ketahanan sektor keuangan. Namun, pertanyaannya adalah seberapa efektif kebijakan ini dalam jangka panjang?

Banyak negara telah mencoba kebijakan serupa, dengan hasil yang bervariasi. Jika aturan ini diterapkan secara kaku tanpa mempertimbangkan fleksibilitas bagi eksportir dalam mengelola arus kas mereka, ada kemungkinan pelaku usaha justru mencari cara untuk menghindari aturan tersebut atau bahkan mengalihkan ekspor mereka ke negara-negara dengan regulasi yang lebih longgar.

Selain itu, keberhasilan kebijakan ini juga bergantung pada seberapa baik pemerintah mampu menciptakan instrumen investasi dalam negeri yang menarik bagi eksportir, agar mereka merasa lebih nyaman menempatkan dana hasil ekspor di dalam negeri ketimbang di luar negeri.

Dalam jangka panjang, tantangan utama bagi Indonesia bukan sekadar mempertahankan surplus perdagangan, melainkan bagaimana menciptakan struktur ekspor yang lebih berkualitas dan bernilai tambah.

Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah seperti kelapa sawit, batu bara, dan nikel perlu secara bertahap dikurangi melalui hilirisasi industri yang lebih agresif.

Beberapa langkah konkret yang bisa diambil adalah mempercepat pembangunan ekosistem industri berbasis bahan baku lokal, mendorong investasi pada teknologi pengolahan, serta memberikan insentif bagi perusahaan yang mengembangkan produk dengan nilai tambah lebih tinggi.

Di sektor energi, penurunan ekspor batu bara menjadi momentum bagi Indonesia untuk mempercepat transisi energi ke arah yang lebih berkelanjutan.

Diversifikasi ekspor dengan memperbanyak produk-produk energi terbarukan, seperti panel surya dan baterai listrik berbasis nikel, harus menjadi prioritas.

Ini tidak hanya akan memperkuat posisi Indonesia di pasar global, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas yang rentan terhadap fluktuasi harga internasional.

Peneliti pada Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ragimun menyatakan pemerintah perlu memperbanyak (diversifikasi) produk olahan nonmigas dan mencari pasar ekspor baru atau memperkuatnya, guna menjaga neraca dagang Indonesia.

Seiring dengan itu, Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara juga menilai peluang ekspor Indonesia bisa ditingkatkan ke negara-negara Perhimpunan Negara-Negara di Asia Tenggara (ASEAN) guna mempertahankan surplus perdagangan.

Selain itu, Bhima berpendapat, Indonesia juga perlu menemukan pasar-pasar ekspor alternatif demi menjaga surplus perdagangan serta mengantisipasi perang dagang.

Baca juga: Mendag: Ekspor ditingkatkan untuk pertahankan surplus perdagangan

Baca juga: Ekonom: Surplus dagang bisa dipertahankan lewat ekspor ke ASEAN

Jangka Panjang

Selain itu, strategi jangka panjang lainnya adalah memperkuat sektor manufaktur dan teknologi digital sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru.

Negara-negara yang berhasil meningkatkan daya saing ekspor mereka dalam jangka panjang bukan hanya bergantung pada sumber daya alam, tetapi juga pada inovasi, teknologi, dan produktivitas tenaga kerja.

Pemerintah perlu mempercepat reformasi pendidikan dan pelatihan vokasi agar tenaga kerja Indonesia lebih siap menghadapi tantangan industri modern.

Dalam konteks global, perang dagang, ketidakpastian ekonomi dunia, serta dinamika geopolitik akan terus mempengaruhi pola ekspor dan impor Indonesia.

Oleh karena itu, diversifikasi pasar ekspor menjadi langkah yang tak terelakkan. Selama ini, Tiongkok masih menjadi mitra dagang utama Indonesia, tetapi ketergantungan ini harus diimbangi dengan memperluas penetrasi pasar ke negara-negara lain, terutama di kawasan Afrika, Amerika Latin, dan Eropa Timur, yang masih memiliki potensi besar tetapi belum digarap secara optimal.

Ke depan, kebijakan perdagangan Indonesia harus lebih proaktif dan adaptif terhadap perubahan global.

Pemerintah perlu lebih agresif dalam negosiasi perjanjian perdagangan bebas yang menguntungkan bagi ekspor Indonesia, sembari memastikan bahwa industri dalam negeri memiliki daya saing yang cukup untuk menghadapi persaingan global.

Selain itu, sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal juga menjadi kunci untuk memastikan stabilitas ekonomi dalam jangka panjang.

Surplus neraca perdagangan yang berkelanjutan memang menjadi pencapaian positif, tetapi tidak boleh membuat bangsa ini terlena.

Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan Indonesia akan terus meningkatkan ekspor untuk menjaga surplus perdagangan yang sudah 58 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.

Budi menyampaikan salah satu cara untuk meningkatkan ekspor adalah dengan melakukan pitching atau pengenalan produk dan business matching atau penjajakan bisnis dengan calon pembeli dari luar negeri.

Menurut Budi, dua kegiatan bisnis tersebut penting dilakukan agar ketika mengikuti pameran perdagangan di luar negeri, tidak perlu lagi mencari-cari calon pembeli.

Tantangan-tantangan yang ada memang harus dijawab dengan solusi strategis yang tidak hanya berorientasi jangka pendek, tetapi juga berlandaskan pada visi jangka panjang yang kuat.

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan ekonomi global, tetapi untuk mencapai itu, transformasi struktural harus dilakukan dengan lebih cepat dan lebih berani.

Baca juga: Pemerintah terus pantau ekonomi global guna jaga surplus dagang

Baca juga: Kemenkeu yakin surplus neraca dagang jadi sinyal positif ekonomi 2025

Copyright © ANTARA 2025