Jakarta (ANTARA) - Komunitas untuk pemberdayaan lanjut usia, Lentera Senja (Lensa) Academia, memberikan edukasi kepada masyarakat lanjut usia terkait harta warisan yang kerap menjadi masalah atau menimbulkan konflik di antara keluarga.

"Lensa Academia konsen kepada lansia. Lembaga ini bertujuan membangun komunitas lansia yang sehat, produktif, berdaya, dan bahagia. Salah satu isu penting yang kurang perhatian lansia adalah soal pembagian harta," ujar Founder Lensa Academica, Mastuki di Jakarta, Senin.

Mastuki mengatakan pembagian harta warisan kerap menimbulkan konflik di antara anggota keluarga, baik dibagikan dengan cara syariat Islam (faraidh), hukum adat, ataupun hukum positif (hukum waris perdata) yang berlaku di Indonesia.

Baca juga: Balai Harta Peninggalan permudah penerbitan surat hak waris

Dalam banyak kasus, warisan selalu menyisakan masalah bagi anak keturunan atau kerabat si pemilik harta.

Menurut Mastuki, umat Islam Indonesia dihadapkan pada praktik dan tata cara pembagian harta warisan yang berbeda-beda.

Ada yang cenderung menggunakan referensi hukum faraidh. Tapi, di banyak daerah, misalnya Jawa, Batak, atau Banjar menganut hukum adat. Di sisi lain ada hukum positif yang memberikan petunjuk tata cara pembagian warisan di Indonesia.

"Pendistribusian harta orang yang meninggal kepada ahli waris kerap menimbulkan sengketa, bahkan timbul biaya yang tak kecil. Sengketa itu kadang karena beda rujukan yang diambil," kata dia.

Mau dibagi secara syariat Islam atau hukum positif atau malah hukum adat. Tapi, yang kerap muncul adalah ketidakpuasan dari para ahli waris, terutama anak laki dan perempuan. "Ujungnya konflik berkepanjangan," kata dia.

Mastuki menyebut kelompok lansia ini sangat potensial. Secara nasional angka lansia terus bertambah membesar. Pada tahun 2030, diprediksi lansia akan menyumbang angka sekitar 14,7 persen dari total populasi di Indonesia.

Mereka umumnya memasuki usia emas dan masih produktif, dengan rentang usia 58-70 tahun. Secara finansial dan status sosial, banyak kalangan lansia ini merupakan kelas menengah ke atas.

Baca juga: Ahli waris ajukan keberatan atas penyitaan harta Luthfi

"Mereka banyak yang kurang faham soal waris, wasiat atau wakaf dan hibah/hadiah. Bagaimana mendistribusikan hartanya kepada keluarga secara aman, tapi tetap bermanfaat sebagai amal shalih di akhirat," kata dia.

Sekretaris Badan Wakaf Indonesia (BWI) Pusat, Anas Nasikhin menjelaskan perlunya alternatif pembagian harta selain warisan dan wasiat yang kerap menimbulkan kesalahpahaman di antara anggota keluarga.

Anas memberikan opsi wakaf sebagai jalan keluar dari konflik pembagian harta. Menurutnya, wakaf memiliki kelenturan dalam membagi harta yang belum menjadi warisan dan selama pemilik harta masih hidup.

"Konflik warisan itu karena si pemilik harta sudah wafat. Sementara ahli waris tak sepakat cara pembagian warisan. Belum lagi saling klaim antara anggota keluarga," kata dia.

Anas menyebut tiga jenis wakaf. Pertama, wakaf ahli, wakaf yang diberikan kepada keluarga dan kerabat atau disebut wakaf keluarga.

Wakaf ini bermanfaat bagi keturunan wakif. Contohnya, untuk pendidikan anak, membeli rumah atau membiayai kebutuhan hidup keluarga.

Baca juga: Dapat harta warisan, apa harus bayar pajak?

Baca juga: Unand jadi lembaga Nazir Wakaf Uang, genjot gerakan filantropi

Kedua, wakaf khairi, yaitu wakaf yang diberikan untuk kepentingan umum. Jenis wakaf ini bermanfaat bagi masyarakat umum. Misalnya, mendirikan masjid, rumah sakit, sekolah, atau pusat sosial lain yang manfaatnya dapat dirasakan oleh banyak orang.

Ketiga, wakaf musytarak. Wakaf perpaduan antara wakaf ahli dan khairi. Ia mencontohkan apabila seseorang memiliki aset Rp5 miliar berupa pabrik atau saham di BUMN, maka 30 persennya dijadikan wakaf khairi, misalnya mendirikan lembaga beasiswa pendidikan anak miskin.

"Sedangkan yang 70 persen untuk wakaf ahli agar keluarganya tetap mendapat manfaat dari harta yang ditinggalkan," kata dia.

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2025